Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Turnover Karyawan

Faktor Penyebab Tingginya Turnover Karyawan

Turnover karyawan adalah salah satu tantangan terbesar bagi perusahaan. Tingginya tingkat keluar-masuk karyawan bukan hanya mengganggu stabilitas tim, tetapi juga berdampak pada produktivitas, biaya rekrutmen, serta reputasi perusahaan. Menurut berbagai studi HR, biaya kehilangan satu karyawan bisa mencapai 1,5–2 kali gaji tahunan mereka jika dihitung dari biaya rekrutmen ulang, pelatihan, dan hilangnya produktivitas.

Agar turnover dapat ditekan, HR perlu memahami apa yang sebenarnya membuat karyawan memutuskan untuk pergi. Faktor penyebab turnover tidak berdiri sendiri, melainkan kombinasi antara kebijakan perusahaan, gaya kepemimpinan, hingga kondisi eksternal.

1. Gaji dan Kompensasi yang Tidak Kompetitif

Salah satu penyebab utama tingginya turnover karyawan adalah kompensasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi maupun standar pasar. Karyawan bekerja bukan hanya demi aktualisasi diri, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Jika gaji yang ditawarkan perusahaan lebih rendah dibanding rata-rata industri, atau tidak naik seiring inflasi dan beban kerja, maka karyawan akan mudah tergoda oleh tawaran lain yang lebih menguntungkan.

Kompensasi yang dimaksud bukan hanya gaji pokok, tetapi juga benefit seperti tunjangan kesehatan, asuransi, bonus tahunan, hingga fleksibilitas kerja yang bernilai ekonomi (contohnya kerja remote yang menghemat biaya transportasi). Banyak perusahaan melakukan kesalahan dengan hanya berfokus pada gaji pokok, padahal benefit tambahan bisa menjadi faktor besar yang dipertimbangkan karyawan.

Transparansi juga berperan penting. Perusahaan yang jarang melakukan review gaji atau tidak memiliki struktur kompensasi yang jelas akan membuat karyawan merasa tidak dihargai. Mereka bisa merasa stagnan karena tidak melihat peluang peningkatan finansial yang sepadan dengan kontribusi.

Sebagai contoh, seorang digital marketer dengan pengalaman tiga tahun bisa merasa kecewa ketika mengetahui bahwa perusahaan kompetitor menawarkan gaji 30% lebih tinggi untuk tanggung jawab yang serupa. Ditambah lagi dengan benefit tambahan seperti asuransi kesehatan keluarga atau opsi kerja hybrid, keputusan untuk pindah menjadi semakin mudah.

Untuk mengatasi hal ini, HR perlu secara rutin melakukan benchmarking gaji terhadap pasar. Survei gaji industri, data publik, atau laporan dari konsultan HR dapat dijadikan acuan. Selain itu, komunikasi terbuka mengenai kebijakan kompensasi membantu karyawan merasa lebih dihargai. Dengan demikian, perusahaan tidak hanya mampu mempertahankan talenta terbaik, tetapi juga meningkatkan loyalitas jangka panjang.

2. Kurangnya Peluang Karier dan Pengembangan Diri

Selain gaji, faktor lain yang sangat memengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau keluar adalah ketersediaan peluang karier yang jelas. Banyak perusahaan hanya fokus merekrut talenta terbaik, tetapi lupa menyediakan jalur pengembangan yang berkelanjutan. Akibatnya, karyawan merasa stagnan dan tidak melihat masa depan jangka panjang di dalam organisasi.

Karyawan modern, khususnya Gen Z dan milenial, cenderung menempatkan pengembangan diri pada prioritas tinggi dalam karier mereka. Mereka ingin tahu apakah ada kesempatan untuk naik jabatan, memperluas tanggung jawab, atau memperoleh keterampilan baru yang relevan dengan industri. Tanpa adanya jalur karier yang transparan, karyawan akan mencari perusahaan lain yang bisa memberikan hal tersebut.

Misalnya, seorang staf akuntansi yang sudah bekerja tiga tahun tanpa ada kejelasan promosi atau peningkatan tanggung jawab akan merasa frustrasi. Ketika melihat rekan seangkatannya di perusahaan lain sudah naik menjadi supervisor, ia merasa tidak dihargai dan mulai mencari kesempatan baru.

Selain promosi, program pelatihan dan mentoring juga berperan penting. Perusahaan yang jarang mengadakan training atau tidak menyediakan akses pembelajaran online akan membuat karyawan merasa tidak berkembang. Padahal, pelatihan bukan hanya bermanfaat bagi karyawan, tetapi juga meningkatkan kapabilitas perusahaan secara keseluruhan.

Untuk mengatasi hal ini, HR perlu membangun career path yang jelas sejak awal. Setiap posisi harus memiliki milestone: berapa lama biasanya seseorang bisa dipromosikan, keterampilan apa yang harus dikuasai, dan dukungan apa yang disediakan perusahaan. Ditambah lagi, program mentoring atau coaching dari senior akan memberi karyawan panduan nyata dalam mengembangkan kariernya.

Ketika karyawan merasa bahwa perusahaan peduli dengan pertumbuhan mereka, loyalitas akan meningkat. Sebaliknya, tanpa peluang karier yang jelas, turnover akan sulit dihindari meski gaji kompetitif sudah ditawarkan.

3. Lingkungan Kerja yang Tidak Sehat

Lingkungan kerja memiliki peran besar dalam menentukan apakah karyawan merasa nyaman bertahan atau memilih untuk keluar. Tidak peduli seberapa besar gaji atau benefit yang diberikan, jika atmosfer kerja penuh tekanan negatif, maka turnover akan sulit dihindari. Lingkungan kerja yang tidak sehat bisa muncul dalam berbagai bentuk: konflik internal antar tim, komunikasi yang buruk, manajemen yang otoriter, atau bahkan praktik diskriminasi dan ketidakadilan.

Karyawan yang bekerja dalam suasana toksik cenderung mengalami stres berkepanjangan. Mereka bisa merasa tidak dihargai, kurang aman untuk berpendapat, atau bahkan menjadi korban favoritisme yang dilakukan atasan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bukan hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental karyawan. Akibatnya, mereka lebih memilih mencari tempat kerja baru yang memberikan rasa aman dan mendukung keseimbangan hidup.

Contoh yang sering terjadi adalah ketika seorang karyawan sebenarnya puas dengan gaji dan jenis pekerjaannya, namun ia memiliki atasan yang suka marah-marah, tidak memberi arahan yang jelas, dan sering menyalahkan tim atas kegagalan. Situasi ini membuat karyawan tersebut merasa tidak dihargai dan akhirnya memilih untuk resign meski belum ada pekerjaan pengganti.

Untuk mencegah turnover akibat lingkungan kerja yang buruk, perusahaan perlu membangun budaya kerja positif. HR dapat melakukan survei kepuasan karyawan secara berkala untuk mengidentifikasi masalah sejak dini dan meningkatkan kepuasan karyawan. Selain itu, perusahaan harus menanamkan nilai keterbukaan, kolaborasi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Training kepemimpinan bagi manajer juga penting agar gaya manajemen mereka lebih humanis dan suportif.

Lingkungan kerja yang sehat akan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging). Karyawan yang merasa dihargai, didengar, dan didukung cenderung lebih setia pada perusahaan, sehingga tingkat turnover dapat ditekan secara signifikan.

4. Kurangnya Work-Life Balance

Work-life balance menjadi salah satu faktor paling krusial dalam keputusan karyawan untuk bertahan di perusahaan. Di era modern, terutama setelah pandemi, banyak karyawan menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ketika perusahaan gagal memberikan ruang untuk keseimbangan ini, turnover cenderung meningkat.

Beban kerja berlebih, jam kerja panjang, tuntutan lembur tanpa kompensasi yang adil, hingga sulitnya mengambil cuti, membuat karyawan cepat merasa lelah. Situasi ini semakin diperparah ketika teknologi membuat batas antara kerja dan kehidupan pribadi semakin kabur, misalnya, ekspektasi untuk selalu online dan merespons pesan kantor di luar jam kerja.

Karyawan generasi milenial dan Gen Z sangat peduli dengan fleksibilitas. Mereka menginginkan kesempatan bekerja hybrid atau remote, setidaknya sebagian waktu. Jika perusahaan tetap kaku dengan kebijakan 100% on-site meskipun jenis pekerjaannya bisa dilakukan jarak jauh, maka risiko kehilangan talenta terbaik akan semakin tinggi.

Sebagai contoh, seorang analis data mungkin sebenarnya puas dengan gaji dan rekan kerja, tetapi ia terpaksa keluar karena perusahaan tidak memberi opsi kerja jarak jauh, sementara kompetitor menawarkan fleksibilitas penuh. Dalam kasus seperti ini, faktor work-life balance menjadi lebih menentukan dibandingkan kompensasi finansial.

Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan dapat menerapkan kebijakan kerja yang lebih fleksibel. Misalnya, jam kerja fleksibel, opsi hybrid, cuti tambahan untuk kondisi khusus, hingga program kesejahteraan karyawan seperti konseling atau olahraga bersama. Selain itu, manajer juga perlu memberi contoh dengan menghargai batas waktu kerja, bukan justru menambah tekanan di luar jam kantor.

Perusahaan yang mampu menjaga work-life balance akan memiliki karyawan yang lebih loyal, produktif, dan jarang mengalami burnout. Sebaliknya, tanpa kebijakan yang mendukung keseimbangan ini, turnover akan sulit dikendalikan meskipun gaji sudah kompetitif.

5. Rekrutmen yang Tidak Tepat

Turnover karyawan sering kali berakar dari kesalahan di tahap paling awal, yaitu proses rekrutmen. Ketika perusahaan tidak melakukan seleksi secara cermat, kandidat yang masuk mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau budaya organisasi. Akibatnya, dalam waktu singkat mereka merasa tidak cocok dan memilih keluar, bahkan sebelum mencapai satu tahun masa kerja.

Rekrutmen yang tidak tepat biasanya terjadi karena beberapa hal. Pertama, deskripsi pekerjaan yang tidak jelas. Job description yang ditulis terlalu umum atau tidak menggambarkan tanggung jawab nyata akan menyesatkan kandidat. Mereka masuk dengan ekspektasi tertentu, tetapi kenyataannya berbeda. Kedua, proses screening yang hanya berfokus pada kualifikasi teknis tanpa memperhatikan kesesuaian budaya. Karyawan yang sebenarnya punya keterampilan baik bisa gagal beradaptasi jika nilai-nilai pribadinya bertolak belakang dengan budaya perusahaan.

Baca Juga: Cara Membuat Job Description yang Efektif

Sebagai contoh, sebuah startup teknologi merekrut kandidat developer karena kemampuan coding yang mumpuni. Namun, kandidat tersebut tidak nyaman dengan ritme kerja cepat dan budaya kolaboratif intensif yang menjadi ciri khas perusahaan. Hanya dalam enam bulan, ia memutuskan keluar karena merasa tertekan dan tidak bisa berkembang.

Untuk mengurangi turnover akibat rekrutmen yang tidak tepat, HR perlu memperbaiki strategi sejak awal. Deskripsi pekerjaan harus ditulis dengan detail, realistis, dan transparan. Selain itu, perusahaan bisa memanfaatkan teknologi seperti Software Applicant Tracking System (ATS) untuk menyaring kandidat berdasarkan keterampilan dan kesesuaian budaya. Wawancara berbasis kompetensi dan assessment center juga membantu menilai calon karyawan secara lebih menyeluruh.

Dengan proses rekrutmen yang tepat, perusahaan bukan hanya mendapatkan kandidat yang kompeten, tetapi juga karyawan yang siap berkembang bersama organisasi. Hal ini akan menurunkan risiko turnover dini yang merugikan perusahaan.

6. Manajemen dan Gaya Kepemimpinan

Salah satu alasan paling sering disebutkan karyawan saat mengajukan resign adalah masalah dengan atasan langsung. Ada ungkapan populer di dunia HR: “Karyawan tidak meninggalkan perusahaan, mereka meninggalkan manajer.” Gaya kepemimpinan yang buruk bisa menjadi pemicu turnover, bahkan ketika kompensasi dan benefit sudah cukup kompetitif.

Gaya kepemimpinan yang otoriter, minim komunikasi, atau terlalu menekankan target tanpa memberikan arahan yang jelas akan membuat karyawan merasa tertekan. Situasi ini tidak hanya mengurangi produktivitas, tetapi juga mengikis loyalitas. Karyawan yang merasa tidak didukung oleh manajer akan lebih mudah mencari peluang lain di perusahaan yang kepemimpinannya lebih suportif.

Contoh kasus yang sering terjadi adalah supervisor yang hanya fokus pada hasil akhir. Ia cepat menyalahkan tim ketika target tidak tercapai, tetapi jarang memberikan coaching atau feedback membangun. Dalam jangka panjang, anggota tim merasa tidak berkembang dan kehilangan motivasi. Akhirnya, mereka lebih memilih keluar meskipun harus memulai kembali di tempat lain.

Untuk mengatasi hal ini, perusahaan perlu berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan. Program pelatihan manajer tidak hanya fokus pada kemampuan teknis, tetapi juga keterampilan interpersonal seperti komunikasi efektif, coaching, dan empati. Manajer yang mampu mendengarkan, memberi arahan yang jelas, serta memberikan apresiasi akan membangun hubungan lebih sehat dengan tim.

Selain itu, perusahaan bisa menerapkan sistem umpan balik dua arah. Bukan hanya karyawan yang dinilai, tetapi manajer juga dievaluasi berdasarkan gaya kepemimpinannya. Survei kepuasan tim terhadap atasan dapat menjadi indikator penting untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum memicu turnover.

Manajemen yang baik menciptakan lingkungan kerja positif, memotivasi tim, dan memberi ruang bagi karyawan untuk berkembang. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk hampir pasti akan berujung pada tingginya turnover.

7. Kurangnya Pengakuan dan Apresiasi

Setiap karyawan ingin merasa dihargai atas kontribusinya. Namun, sering kali perusahaan terlalu fokus pada target dan angka, sehingga lupa memberikan pengakuan sederhana kepada orang-orang yang sudah bekerja keras. Kurangnya apresiasi ini bisa menjadi salah satu penyebab utama turnover, terutama di kalangan karyawan yang sudah memberikan loyalitas tetapi merasa usaha mereka tidak pernah dilihat.

Apresiasi tidak selalu harus berupa bonus besar atau kenaikan gaji. Ucapan terima kasih, pujian di depan tim, atau pengakuan publik atas keberhasilan proyek sudah bisa meningkatkan motivasi karyawan secara signifikan. Sayangnya, banyak manajer yang menganggap hal-hal kecil ini tidak penting, padahal dampaknya besar terhadap engagement karyawan.

Bayangkan seorang staf administrasi yang selalu menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan sering membantu tim lain. Namun, karena kontribusinya dianggap “biasa saja”, ia tidak pernah mendapat pengakuan. Lama-kelamaan, ia merasa keberadaannya tidak berharga. Ketika ada tawaran pekerjaan lain, meski dengan gaji yang hampir sama, ia akan memilih pindah demi mencari apresiasi yang lebih baik.

Untuk mencegah hal ini, perusahaan perlu membangun budaya penghargaan. Apresiasi harus menjadi bagian dari keseharian, bukan hanya saat ada acara tahunan. Program penghargaan karyawan bulanan, sistem poin untuk kontribusi ekstra, atau sekadar shout-out di rapat tim bisa meningkatkan rasa dihargai.

Selain itu, pengakuan juga sebaiknya bersifat personal. Tidak semua orang termotivasi oleh hadiah material; ada yang lebih menghargai kesempatan untuk belajar, promosi, atau kepercayaan untuk menangani proyek penting. HR dan manajer perlu memahami preferensi tiap individu.

Dengan pengakuan yang tepat, karyawan merasa kontribusinya bermakna. Mereka lebih termotivasi untuk bertahan, berkembang, dan memberi yang terbaik. Sebaliknya, tanpa apresiasi, turnover menjadi sulit dihindari.

8. Burnout dan Kesehatan Mental

Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian serius di dunia kerja. Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah atau tidak ada peluang karier, tetapi karena mereka mengalami burnout yang berkepanjangan. Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental akibat stres kerja yang berlebihan dan berulang tanpa adanya pemulihan yang cukup.

Penyebab burnout bisa beragam: target yang tidak realistis, beban kerja yang terlalu berat, ekspektasi untuk selalu online di luar jam kerja, atau kurangnya dukungan dari atasan dan tim. Kondisi ini membuat karyawan kehilangan motivasi, menurunkan produktivitas, dan pada akhirnya memilih keluar demi menjaga kesehatan mental dan kualitas hidup mereka.

Contoh yang sering terjadi adalah karyawan di industri startup yang harus bekerja dengan ritme cepat, lembur hampir setiap hari, dan menghadapi tekanan investor. Awalnya mereka bersemangat, tetapi dalam 6–12 bulan, banyak yang akhirnya resign karena tidak mampu menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan tuntutan pekerjaan.

Untuk mencegah turnover akibat burnout, perusahaan harus proaktif dalam menjaga kesejahteraan mental karyawan. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menetapkan target yang realistis dan menyesuaikan beban kerja dengan kapasitas tim. Program kesehatan mental, seperti konseling gratis, sesi mindfulness, atau fleksibilitas jam kerja, juga dapat membantu karyawan mengelola stres.

Selain itu, budaya kerja harus mendukung istirahat dan batasan yang sehat. Manajer perlu memberi contoh dengan tidak menghubungi tim di luar jam kerja, kecuali dalam keadaan darurat. Dengan cara ini, karyawan merasa lebih dihargai sebagai individu, bukan sekadar “mesin produktivitas.”

Jika perusahaan serius mendukung kesehatan mental, turnover bisa ditekan karena karyawan lebih betah dan merasa aman untuk berkembang dalam jangka panjang.

9. Ketidakstabilan Perusahaan

Karyawan cenderung lebih setia pada perusahaan yang stabil dan memiliki arah bisnis jelas. Sebaliknya, ketidakpastian dalam organisasi sering menjadi pemicu turnover yang tinggi. Bentuk ketidakstabilan ini bisa berupa restrukturisasi yang berulang, rumor mengenai PHK massal, keuangan perusahaan yang goyah, atau perubahan strategi yang tidak konsisten.

Ketika karyawan merasa masa depan perusahaan suram, mereka akan mulai mencari alternatif lain demi keamanan karier jangka panjang. Rasa tidak aman ini sering lebih kuat pengaruhnya dibandingkan faktor gaji atau benefit. Misalnya, seorang karyawan mungkin menerima kompensasi yang baik, tetapi jika perusahaan secara rutin melakukan pemangkasan tenaga kerja, ia akan lebih memilih pindah ke tempat yang menjanjikan kepastian.

Contoh nyata bisa dilihat pada perusahaan yang sedang mengalami masalah finansial. HR mungkin sudah berusaha keras menjaga motivasi, tetapi informasi mengenai penurunan penjualan atau investor yang mundur bisa menyebar cepat di kalangan karyawan. Dalam kondisi seperti ini, mereka yang punya keterampilan tinggi akan lebih dulu meninggalkan perusahaan, sehingga justru memperburuk situasi.

Untuk mengurangi turnover akibat ketidakstabilan, perusahaan perlu menjaga komunikasi yang transparan. Karyawan lebih menghargai informasi yang jelas, bahkan ketika situasinya sulit, daripada harus bergantung pada gosip internal. Selain itu, manajemen harus menunjukkan langkah konkret dalam memperbaiki kondisi, misalnya dengan strategi restrukturisasi yang masuk akal atau roadmap bisnis yang realistis.

Stabilitas tidak selalu berarti tanpa perubahan. Justru, perusahaan yang mampu menunjukkan kepemimpinan kuat saat menghadapi krisis akan membuat karyawan merasa lebih aman. Dengan komunikasi terbuka dan rencana jangka panjang yang konsisten, risiko turnover karena ketidakstabilan bisa ditekan secara signifikan.

10. Faktor Eksternal

Tidak semua turnover karyawan dipicu oleh masalah internal perusahaan. Ada kalanya karyawan keluar karena alasan eksternal yang berada di luar kendali HR maupun manajemen. Faktor-faktor ini termasuk relokasi keluarga, melanjutkan pendidikan, perubahan kondisi pribadi, hingga keinginan untuk memulai bisnis sendiri. Meski tidak bisa dihindari sepenuhnya, faktor eksternal tetap memberi kontribusi signifikan terhadap tingkat turnover.

Relokasi adalah salah satu contoh paling umum. Seorang karyawan mungkin harus pindah kota atau bahkan negara karena pasangan mendapat pekerjaan baru, atau karena alasan keluarga. Dalam kasus seperti ini, meski karyawan sebenarnya puas dengan pekerjaannya, mereka terpaksa mengundurkan diri. Situasi serupa juga terjadi pada karyawan yang ingin melanjutkan pendidikan, misalnya mengambil program master atau doktoral, yang tidak bisa dikombinasikan dengan pekerjaan penuh waktu.

Selain itu, perubahan kondisi hidup seperti pernikahan, kelahiran anak, atau kewajiban merawat anggota keluarga juga bisa menjadi alasan karyawan keluar. Ada juga yang resign karena ingin mengejar mimpi pribadi, seperti memulai usaha sendiri atau beralih ke bidang karier yang berbeda sama sekali.

Bagi perusahaan, turnover akibat faktor eksternal memang sulit dicegah, tetapi tetap bisa dikelola dengan baik. HR dapat menjaga hubungan positif dengan mantan karyawan melalui program alumni atau jaringan talent pool. Dengan cara ini, mereka yang keluar tetap bisa menjadi brand ambassador perusahaan, atau bahkan kembali bergabung di masa depan.

Perusahaan juga bisa mempertimbangkan fleksibilitas sebagai solusi parsial, misalnya menawarkan opsi kerja remote atau paruh waktu bagi karyawan yang menghadapi perubahan hidup. Langkah-langkah seperti ini menunjukkan kepedulian dan dapat menurunkan tingkat turnover, meski alasan utamanya berasal dari faktor eksternal.

Kesimpulan

Turnover karyawan tinggi bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil akumulasi berbagai faktor: mulai dari gaji, pengembangan karier, lingkungan kerja, gaya kepemimpinan, hingga keseimbangan hidup. HR perlu melakukan analisis root cause secara rutin, misalnya lewat exit interview, survei kepuasan karyawan, dan monitoring HR analytics.

Dengan memahami penyebab utama, perusahaan bisa menyusun strategi pencegahan: memperbaiki sistem kompensasi, menciptakan budaya kerja sehat, hingga menyediakan jalur karier yang jelas.

Table of Contents

Share the Post:

Related Posts

Ilustrasi burnout kerja.

Burnout Kerja: Pengertian, Penyebab dan Bahaya Bagi Perusahaan

Burnout kerja menjadi topik yang tengah mendapat perhatian khusus dalam dunia profesional. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu tetapi juga dapat berdampak signifikan pada keseluruhan kinerja dan kesehatan perusahaan. Fenomena yang berkaitan dengan dimensi psikologi karyawan ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan lingkungan dan manajemen kerja. Memahami

Baca Selengkapnya...
Ilustrasi walk in interview.

Cek Keunggulan Walk in Interview vs Wawancara Terjadwal

Dalam dunia rekrutmen, perusahaan memiliki berbagai strategi untuk menemukan kandidat terbaik. Dua metode yang sering digunakan adalah walk in interview dan wawancara terjadwal. Kedua metode ini menawarkan keunggulan dan kelemahan tersendiri, tergantung pada kebutuhan serta situasi perusahaan. Jika Anda bagian dari tim rekrutmen di perusahaan berskala besar, memahami perbedaan serta

Baca Selengkapnya...
Langkah-Langkah Membuat Job Posting yang Menarik Kandidat Terbaik

Langkah-Langkah Membuat Job Posting yang Menarik Kandidat Terbaik

Job posting adalah pintu pertama yang menghubungkan perusahaan dengan kandidat. Postingan yang jelas, menarik, dan informatif dapat meningkatkan peluang perusahaan untuk mendapatkan pelamar yang sesuai. Sebaliknya, job posting yang asal-asalan bisa membuat kandidat berkualitas melewatkan kesempatan tersebut. Bagi HR, kemampuan menulis job posting bukan hanya keterampilan administratif, tetapi strategi penting

Baca Selengkapnya...